Minggu, 15 Juli 2012

Saya? Dewasa?

Sekarang adalah Senin yang kesekian yang dilalui dengan planning apa adanya ga ada hal yang lebih berbeda, kecuali saat ini, saat saat menulis blog ini.
Masih dengan semua inspirasi yang kasak kusuk dan belum menemukan apa yang mau saya ceritakan setelah basa basi ini. Karna jujur saja, saya sudah terlalu lelah untuk membicarakan tentang kesedihan.

Banyak hal yang sudah dilalui dengan sangat (mungkin setengah) baik, masih dengan cita-cita yang sudah setengah jalan saya lalui dan dengan setengah kepercayaan akan apa yang sudah saya lakukan untuk diri sendiri. Sungguh tragis rasanya ketika akhir-akhir ini seolah dipaksakan untuk menjadi dewasa ketika saya belum siap. Tapi, kapan sih orang benar-benar siap untuk semua tantangan hidup. Mungkin memang begitu cara kehidupan memberikan maknanya, saya sebagai manusia yang sebenarnya memang manusia biasa terima-terima sajalah, dan itu bukan sebuah kepasrahan tapi sikap. Intonasi suara tegas perlu ditekankan disini. Semoga kedewasaan mulai tercermin dari situ.

Tepat sebelum saya memulai menulis, mamah menelpon. Tidak ada hal lain yang dia tanyakan secara teratur setiap kali menelpon.
1. apa kabar nak?
2. lagi dimana sekarang?
3. Sudah makan?
4. hari ini kuliah?
5. berapa sisa uangmu?
6. kapan remedi anatomi?

Karna terlalu hapal dengan semua pertanyaan yang akan ditanyakan, saya tidak butuh waktu 2 menit untuk bicara dengan mamah, kemudian telpon akan diputus dengan sukses. Peduli atau tidak saya sedang ingin berlama-lama bicara dengannya, atau bahkan sedang dalam keadaan rindu yang sangat menyedihkan akan kampung halaman. Nampaknya mamah sudah menilai anaknya ini cukup dewasa untuk menyikapi rasa rindu. Ya, untuk ini saya terima itu.

Untuk setiap pertanyaan terakhir mamah itu , saya selalu menjawabnya dengan sedih. Selain karna itu pertanyaan tentang seberapa berhasilnya saya disini, tapi itu juga berbicara tentang seberapa menyesal saya telah mengecewakan mereka. Saya mengerti kenapa mamah begitu cerewet menanyakannya, karna meski dia tidak menyatakan dengan tegas, tapi ada rasa kecewa, mungkin kekecewaannya sangat dalam. Dan perih rasanya ketika harus terpaksa bersikap bahwa saya siap menghadapinya lagi, padahal terdapat ketakutan untuk itu. Dan lagi, saya dituntut dewasa untuk bersikap. Saya juga terima itu.

Satu-satunya hal yang menyatakan bahwa saya masih anak-anak buat mereka adalah pertanyaan mereka tentang kiriman uang yang selalu ditanya cukup atau tidak. Mereka tau persis kalau saya agak berantakan dalam menata kebutuhan, dan saya susah dalam memprioritaskan suatu hal. Mungkin itu alasan mereka menganggap bahwa putri mereka ini masih gadis cilik yang masih perlu diberikan uang jajan tiap harinya. Meski terkadang memang uang bulanan saya habis sebelum waktunya, dan itu memang kesalahan saya. Tapi sayangnya orangtua saya tidak pernah menghukum dan akhirnya saya menjadi manja dengan kebijakan itu. Saya sangat terima itu. Meski diam-diam menertawakan diri sendiri.



Apapun penilaiannya, saya terima itu. Entah itu sudah dewasa atau masih anak gadis mereka yang manis. Buat saya itu bukanlah suatu kepentingan. Yang penting saya mencintai mereka untuk semua alasan didunia ini. Semoga cinta yang sama mampu saya berikan pada anak-anak saya kelak, seperti cinta mereka yang unik untuk saya :)